Pembagian Periodisasi Sejarah Seni Rupa Indonesia
Diposting oleh Admin Seni Budaya, on Januari 2020.
Masyarakat
nusantara tidak memiliki tradisi pencatatan sejarah yang kuat. Apalagi
catatan historis mengenai sejarah seni rupa. Maka sebagian besar sumber
sejarah yang diperlukan harus digali dari dokumentasi zaman kolonial.
Karena alasan itu pula benda-benda prasejarah seni rupa Indonesia
sendiri merupakan material yang sangat penting sebagai sumber sejarah.
Para arkeolog memegang peranan sangat penting untuk menguak sejarah seni
rupa Indonesia.
Maka dari itu, salah satu hal yang dilakukan
sebelum membahas sejarah seni rupa Indonesia adalah menentukan jenis
periodisasi yang ingin dibahas. Apakah kita akan membahas sejarah
Indonesia berdasarkan pertumbuhannya atau kita akan melihat periodisasi
berdasarkan ciri peninggalannya?; kacamata Arkeologi. Intinya, kita
dapat menyusun linimasa perkembangan seni rupa Indonesia berdasarkan
pertumbuhan, atau ciri peninggalannya seperti yang akan dijelaskan di
bawah ini.
Periodisasi Sejarah Seni Rupa Indonesia Berdasarkan Pertumbuhannya
- Zaman prasejarah; sejak permulaan adanya manusia dan kebudayaan sampai kira-kira abad ke-5 Masehi. Zaman ini dapat dibagi menjadi beberapa Zaman yaitu: zaman batu tua (Paleolitikum), zaman batu tengah (Mesolitikum), dan zaman batu muda (Neolitikum).
- Zaman logam, meliputi: zaman perunggu; dan zaman besi. Zaman tembaga tidak ditemukan di Asia, termasuk di Indonesia.
- Zaman purba; sejak datangnya pengaruh India, yakni pada abad-abad pertama tarikh Masehi sampai lenyapnya kerajaan Majapahit (sekitar 1500 M).
- Zaman madya; sejak datangnya pengaruh Islam di Indonesia, yakni menjelang akhir zaman Majapahit sampai akhir abad ke-19.
- Zaman baru; Sejak masuknya anasir-anasir Barat dan teknologi modern Indonesia, yakni kira-kira tahun 1900 Masehi sampai saat ini.
Periodisasi Sejarah Seni Rupa Indonesia Berdasarkan Ciri Peninggalannya
- Seni rupa Prasejarah
- Seni rupa Hindu-Budha
- Seni rupa Islam
- Seni rupa modern
Dari
perbedaan kedua periodisasi diatas dapat dilihat dengan jelas bagaimana
beberapa istilah sejarah dalam sejarah seni rupa akan saling berkaitan
atau berkontradiksi satu sama lain antara periodisasi berdasarkan
peninggalan dan pertumbuhan zaman. Disini akan dibahas sejarah seni rupa
Indonesia berdasarkan urutan ciri peninggalannya, namun tidak akan
mengabaikan konteks zaman-nya juga.
Sejarah Seni Rupa Indonesia
Sebelumnya
Eropa dianggap sebagai pelopor seni rupa karena ditemukannya berbagai
benda seni kuno disana. Namun kemudian pernyataan tersebut diragukan,
karena beberapa temuan benda dan karya seni yang lebih tua di benua
Afrika dan Asia Tenggara. Salah satu temuan karya tertua itu adalah
lukisan di gua Sulawesi yang berada di Indonesia. Hingga saat ini
diperkirakan lukisan gua tersebut adalah lukisan tertua di dunia.
Penjelasan tersebut sejalan dengan apa yang akan kita bahas pertama
disini, yaitu Seni Rupa Prasejarah.
Sejarah Seni Rupa Prasejarah
Pembagian
seni rupa prasejarah di Indonesia dibedakan atas dua periode, yaitu
zaman batu dan zaman perunggu. Pembabakan tersebut didasarkan atas
kemampuan teknik dan teknologi masyarakat prasejarah tersebut. Terutama
dalam menciptakan alat-alat yang diperlukan dalam mendukung kelangsungan
hidupnya. Hal ini ditunjukkan dengan bukti artefak-artefak yang mereka
tinggalkan. Zaman batu atau disebut juga zaman Megalitik yang terdiri
dari:
- Zaman batu tua (Paleolitik).
- Zaman batu tengah (Mesolitik).
- Zaman batu muda (Neolitik).
Kehidupan Zaman Prasejarah
Manusia
hidup di masa Prasejarah dalam jangka waktu yang sangat panjang. Pada
masa ini hidup manusia belum terlalu bergantung ke peralatan (gawai)
seperti sekarang. Namun manusia sudah mulai membuat alat-alat yang dapat
membantu menjalani kehidupnya di dunia, meskipun alat-alat yang dibuat
masih sederhana dan menyerupai bentuk bahan mentahnya. Misalnya alat
untuk mencari umbi-umbian sebagai bahan makanan atau alat untuk berburu.
Alat-alat tersebut dibuat menggunakan batu yang di pecahkan, tulang
binatang yang diasah, dsb.
Kehidupan manusia pada masa ini juga
belum sepenuhnya menetap, mereka masih berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lainnya tergantung pada situasi dan kondisi setempat atau
biasa disebut dengan istilah nomaden. Jika tempat tinggal mereka sudah
tidak subur lagi atau buruan disana habis, maka mereka akan pindah dan
mencari tempat tinggal baru. Tempat singgah yang digunakan di masa ini
hanyalah sebatas gua atau dataran terbuka yang terbebas dari ancaman
binatang buas.
Di
masa nomaden ini sering terjadi hal yang tidak diinginkan, terutama
untuk anak-anak dan wanita. Sering di temukan rangka manusia yang
terpisah jauh dari temuan lainnya, yang berarti adalah beberapa korban
dalam perjalanan jauh ketika berpindah. Sayangnya manusia prasejarah
belum mampu membuat rumah sebagai tempat tinggal tetap yang aman.
Sehingga pada umumnya mereka tinggal di gua untuk menyelesaikan masalah
tersebut.
Ketika mulai menetap di gua inilah, aktivitas manusia
dalam membuat berbagai karya juga mulai bertambah, seiring kebutuhan
yang meningkat untuk menciptakan alat-alat pertanian sederhana, ritual,
dsb. Pada akhirnya manusia mulai menemukan logam dan mengetahui cara
mengolahnya. Bahkan lama-kelamaan logam mulai menggeser kedudukan batu,
yang pada akhirnya hanya berfungsi sebagai benda pusaka saja dan
kehilangan nilai praktis.
Karya Seni Rupa Prasejarah
Salah
satu peninggalan yang paling kuno dari kesenian Indonesia adalah
lukisan pada dinding gua-gua, seperti yang ditemukan di Papua, di
Kepulauan Kei dan Seram hingga di Sulawesi Selatan. Lukisan-lukisan
tersebut antara lain berupa cap telapak tangan dan telapak kaki,
gambar-gambar manusia yang sederhana, gambar-gambar binatang seperti
babi hutan, cecak, kadal, kura-kura, kerbau, dan lain sebagainya.
Di
beberapa gua di Indonesia yang telah disebutkan di atas terdapat bahkan
terdapat gambar telapak tangan dengan jari terpotong (tidak utuh). Ada
pula gambar seekor binatang yang tampak sedang diburu dengan menggunakan
tombak. Van Heekeren, seorang arkeolog yang meneliti gua-gua di dekat
Maros Sulawesi Selatan menyatakan bahwa lukisan babi hutan tertombak
panah maupun ratusan gambar tangan yang terdapat di sana diduga telah
ada sejak tahun 2000 sebelum Masehi, bersamaan dengan berkembangnya
kebudayaan Toala.
Sedangkan
pakar lain seperti Dr. Josef Roder yang melakukan penelitian di daerah
Papua menemukan lukisan-lukisan disana telah ada dari sejak 1000 tahun
sebelum Masehi. Beberapa diantaranya bahkan baru dibuat 3-4 abad yang
lalu.
Beberapa peninggalan artefak terpenting dari seni rupa prasejarah Indonesia antara lain:
- Kriya batu: Kapak genggam
- Kriya tanah liat / gerabah (Mesolitik-Neolitik)
- Lukisan dinding gua (Mesolitik-Megalitik)
- Bangunan megalitik (menhir, dolmen, sarkopak).
- Ragam hias prasejarah yang menyatu dengan benda kriya
Peninggalan Seni Rupa Prasejarah di Sulawesi Selatan
Salah
satu peninggalan tertua di Indonesia bahkan di dunia berada di Sulawesi
Selatan, tepatnya di Leang Timpuseng. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh kerjasama Pusat Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Makassar, BPCB
Makassar, University of Wollongong dan Universitas Griffith sepanjang
tahun 2011-2013 menunjukkan bahwa stensil tangan yang berada disana
berumur 39.900 tahun. Disana juga ditemukan lukisan babirusa betina yang
usianya tidak kalah tua, yaitu 35.400 tahun.
Tradisi Megalitik
Tradisi
megalitik muncul setelah adanya tradisi bercocok tanam, atau masa
neolitik. Biasanya bangunan megalitik dipergunakan sebagai sarana
pemujaan. Pemujaan tersebut didasarkan atas kepercayaan mengenai adanya
hubungan antara yang hidup dengan yang mati. Manusia prasejarah
mempercayai adanya pengaruh kuat dari roh orang yang telah meninggal
terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman.
Karena
itu, jasa dari seorang kerabat yang telah meninggal seringkali
diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar, yang kemudian dianggap
sebagai medium penghormatan (ritual), tempat bersemayam roh dan
sekaligus sebagai lambang si mati (Wahyono dkk., 1991: 29).
Bentuk-bentuk
bangunan megalitik tersebut berupa menhir, meja batu, dll.
Bentuk-bentuk peninggalan monumental megalitik di Indonesia diwarnai
oleh batu yang berkaitan dengan pemujaan maupun upacara-upacara
penguburan. Walaupun tradisi ini sudah hampir punah, namun beberapa
daerah di Indonesia seperti Nias, Toraja, Flores, dan Sumba masih
menjalankannya.
Contoh Karya seni zaman Perunggu
Gelombang
perpindahan kedua dari daratan Asia ke Nusantara pada 500 tahun sebelum
Masehi membawa serta kebudayaan perunggunya ke tempat tinggal mereka
yang baru. Hal ini meninggalkan banyak peninggalan sejarah seni rupa
baru di Indonesia. Peninggalan artefaknya antara lain:
- Kria Perunggu/Seni Dongson (genderang perunggu)
- Kapak perunggu
- Patung perunggu
- Ragam hias Prasejarah/Tradisi pada karya perunggu
Ciri-ciri seni rupa prasejarah Indonesia
Untuk
mempermudah pemahaman karya seni di zaman ini sebaiknya kita mengetahui
ciri-ciri dari objek seni yang ditemukannya. Adapun ciri-ciri tradisi
seni hias Indonesia yang bersumber dari seni prasejarah itu sendiri,
antara lain:
- Kecenderungan untuk menggunakan bentuk flora dan fauna yang menimbulkan kesan dekoratif sesuai dengan lingkungannya yang agraris.
- Menampilkan bentuk-bentuk ornamen geometri (meander, swastika, tumpal, pilin, pilin berganda, lingkaran, dan sebagainya).
- Kecenderungan menampilkan motif-motif hias perlambangan (simbolis) sesuai dengan pandangan hidup religi yang masih kosmis-magis.
- Kecenderungan pada penggunaan warna dasar sesuai dengan lingkungan alam dan pandangan kepercayaan.
Sumber
inspirasi yang banyak dimanfaatkan sebagai objek seni antara lain
burung sebagai lambang roh manusia yang telah meninggal. Bagi masyarakat
Dayak burung Enggang dianggap sebagi lambang dunia atas. Binatang
reptil juga banyak digunakan, seperti buaya, kadal, ular, kura-kura
dianggap sebagai lambang dunia bawah. Lalu binatang lainnya adalah kuda,
kerbau, dan gajah sebagai kendaraan roh orang yang telah meninggal.
Kerbau juga dapat disebut sebagai lambang kesuburan, dan penolak bala.
Berbagai ciri seni hias prasejarah ini menjadi dasar dari tradisi seni
Indonesia yang berpengaruh pada zaman berikutnya, yaitu periode
Hindu-Budha atau bisa di sebut zaman klasik.
Sejarah Seni Rupa Klasik (Hindu-Budha)
Berdasarkan peninggalan arkeologisnya, zaman klasik di Indonesia dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu:
- Zaman Klasik Tua yang berkembang antara abad ke-8—10 M
- Zaman Klasik Muda yang berkembang antara abad ke-11—15 M
Kedua
zaman itu berkembang di berbagai wilayah nusantara, termasuk Jawa,
Sumatera dan Bali, namun bukti arkeologi dalam zaman Klasik Tua banyak
didapatkan di wilayah Jawa tengah. Karena itu terkadang beberapa ahli
menyebut zaman klasik ini juga dengan Zaman Jawa Tengah. Penyebutan itu
sebetulnya kurang tepat. Seperti yang telah dibahas diatas bahwa
pembagian zaman harus berdasarkan pada kronologi waktunya, bukan banyak
temuannya. Pembagian Zaman Klasik yang didasarkan pada kronologi
peninggalan tersebut untuk memperluas cakupan kajian, jadi tidak melulu
bicara tentang tinggalan di Jawa bagian tengah atau timur belaka
(Munandar 1995: 108).
Perkembangan Zaman Seni Rupa Klasik Indonesia
Masa
Sejarah (Paskasejarah, lawan dari Prasejarah) di Indonesia dimulai
setelah ditemukannya bukti prasasti-prasasti awal (bertarikh sekitar
abad ke-4 M) ditemukan di wilayah Kutai, Kalimantan Timur yang menyebut
nama raja Mulawarman dan Jawa bagian barat yang menyebutkan Kerajaan
Tarumanagara dengan rajanya Purnnawarmman. Prasasti-prasasti itu
menggunakan aksara Pallava dengan bahasa Sansekerta (Suleiman, 1974:
14—15); sedangkan nafas keagamaan yang terkandung dalam
prasasti-prasasti tersebut bercorak Veda kuno, masih belum memuja
Trimurti. Dalam masa sejarah itulah pengaruh kebudayaan India mulai
datang dan berkembang secara eksklusif di beberapa bagian Nusantara.
Namun
kedepannya pengaruh kebudayaan India awal yang menyebarkan ajaran
Veda-Brahmana tersebut tampak kurang diminati lagi oleh masyarakat
nusantara. Runtuhnya kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat juga ikut
mempengaruhi hal ini. Tidak ada lagi yang meneruskan ritual Veda Kuno
yang didominasi oleh kaum Brahmana. Justru muncul kerajaan baru yang
bernafaskan Hindu Trimurti di wilayah Jawa Tengah pada abad ke-8 M.
Kerajaan itu adalah Mataram Kuno yang membangun Prasasti Canggal pada
tahun 732 M. Dalam prasasti itu dinyatakan nama raja yang menitahkan
pembangunan prasasti, yaitu Sanjaya. Nafas keagamaan yang cukup kentara
dalam prasasti itu adalah Hindu-saiva, karena bait-baitnya banyak
memuliakan Siva Mahadeva (Poerbatjaraka 1952: 53—55).
Bersamaan
dengan masuknya pengaruh Hindu-saiva, datang pula pengaruh agama Buddha
dari aliran Mahasanghika (Mahayana) ke tengah-tengah masyarakat Jawa
Kuno. Akhirnya di Jawa bagian tengah antara abad ke-8—10 M berkembang 2
agama besar, yaitu Hindu-saiwa (Hindu-saiva) dan Buddha Mahayana yang
berasal dari India. Dalam perkembangannya banyak dihasilkan berbagai
bentuk kesenian, seni yang masih bertahan hingga sekarang adalah
bukti-bukti seni rupa yang berupa arca dan relief serta dan karya
arsitektur bangunan suci.
Karya Seni Rupa Zaman Klasik (Hindu-Budha)
Seperti
yang dijelaskan sebelumnya, karya seni rupa zaman klasik Hindu-Budha
didominasi oleh arsitektur religi dan ragam hias dindingnya. Ragam hias
yang paling umum digunakan adalah padma teratai. Padma dapat
melambangkan tahta dewa tertinggi, terbentuknya alam semesta, kelahiran
Budha, kebenaran utama, tempat kekuatan hayati dan suci bagi kaum Yogin
dan rasa kasih. Bentuk hias lain yang dominan adalah:
- Swastika yang melambangkan daya dan keselarasan jagad raya.
- Kalamakara yang terdiri dari Kala yang melambangkan waktu, dan Makara yang berupa makhluk seperti buaya.
- Kinnara, berwujud manusia setengah burung yang merupakan anggota dari kelompok dewa penghuni langit.
Pengaruh
zaman Hindu-Budha dalam bidang seni rupa sangat kental dalam bidang
arsitektur, khususnya arsitektur pada bangunan candi. Candi di Indonesia
dibedakan menjadi candi Hindu dan candi Budha.
- Candi Hindu,
Arsitektur candi Hindu Indonesia memiliki gaya yang mirip hingga dengan gaya India Selatan. Misalnya Candi Syiwa Lara Jonggrang di Jawa Tengah. Candi tersebut melukiskan penafsiran masyarakat (atau setidaknya perancangnya) mengenai keadaan setempat yang terperinci, hingga ke berbagai tempat pemujaan agama Hindu yang menunjukkan ciri Syiwaisme.
- Candi Budha,
Bangunan candi Budha, seperti Candi Borobudur, tidak memiliki gaya yang mirip dengan gaya India. Borobudur terdiri atas sepuluh tingkat konsentris. Enam tingkat paling bawah dirancang sebuah bidang persegi, sementara empat tingkat di atasnya merupakan stupa utama berbentuk lingkaran.
Seni Hias Pra-Islam
Selain
kebudayaan dan ragam hias yang dihasilkan dari akulturasi India,
masyarakat nusantara juga telah memiliki kebudayaan ragam hias khas yang
tidak datang dari India, seperti kain batik. Awal pembuatan batik sudah
dimulai sejak zaman prasejarah, kain simbut dari Priangan adalah contoh
batik asli yang dibuat dari bahan kanji ketan sebagai penutup kain
(Yudoseputro, 1986:96, Djumena, 1990: 86-87, Anas, 1997:15-16).
Sebutan
batik yang paling tua terdapat dalam sebuah naskah Sunda yang ditemukan
di selatan Cirebon dan bertanggal 1440 Saka/1518 M (Lombard, 1996:
193). Kata batik belum disebut disana, tetapi yang ada adalah kata
tulis yang sejak itu lazim dipakai untuk pembubuhan malam ke atas kain.
Selain itu disebut-sebut nama teknis dari sembilan motif, yang beberapa
diantaranya terus muncul dari masa ke masa. Istilah batik untuk
pertama kali disebut dalam tulisan Eropa di Daghregister di Batavia,
tertanggal 8 April 1641.
Teknik batik dapat dengan cepat menyebar
di Jawa karena tekniknya berasal dari pesisiran dan pelabuhan. Batik
masuk ke kerajaan Mataram, kemudian berkembang dan dibudayakan di
Cirebon, Pekalongan, Yogya, Solo, dsb. Di ibukota-ibukota Jawa bagian
tengah, motif dan warna batik selalu mengikuti kaidah-kaidah yang ketat.
Sebaliknya di pesisir batik terus menerus diperbaharui dan mengikuti
selera khas dari pengerajinnya.
Sejarah Seni Rupa Madya (Pengaruh Islam)
Pengaruh
Islam terhadap seni rupa Indonesia terjadi dari hasil perdagangan yang
dimulai sejak abad ke-11. Para pedagang dari Gujarat, India, adalah yang
diketahui yang paling berpengaruh besar dalam menyebarkan agama Islam
di Indonesia. Mereka membangun permukiman di sepanjang Pantai Timur
Sumatra dan Aceh. Selanjutnya pusat-pusat kebudayaan Islam dibangun
secara bertahap di Demak dan Jepara.
Islam memberikan pengaruh
kebudayaan yang besar terhadap seni rupa nusantara. Salah satu pengaruh
terbesarnya adalah pandangan retrospektif terhadap kebudayaan-kebudayaan
nusantara sebelum dipengaruhi oleh Zaman Klasik hingga ke Prasejarah.
Motif-motif binatang dan yang berhubungan dengan kepercayaan manusia
perlahan berkurang. Hal ini disebabkan oleh usaha para pemeluk Islam
untuk menyebarkan agamanya di Indonesia dihadapkan dengan permasalahan
budaya masyarakat nusantara dari kepercayaan sebelumnya masih kentara.
Ragam hias nusantara digantikan oleh pola hias bentuk-bentuk alam.
Beberapa pengaruh terbesar Islam pada seni rupa Indonesia adalah sebagai
berikut.
Pola hias bentuk-bentuk alam
Pada
zaman madya kegemaran menggunakan motif hias yang bersumber pada ragam
hias geometris dan ragam hias tumbuhan hadir kembali di masyarakat
nusantara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebetulnya ragam
hias geometri dan alam sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Namun pada
zaman Islam semacam di revive atau dikampanyekan ulang
menggunakan pendekatan retrospektif terhadap budaya yang dianggap lebih
Islami daripada kepercayaan-kepercayaan masyarakat nusantara sebelumnya.
Motif ini selalu muncul kembali dalam perkembangan seni dekoratif
Indonesia dengan pola dan susunan yang baru.
Pada masa Islam
motif-motif hias geometri ini terus berkembang, sebagai bentuk penerus
tradisi seni hias zaman Hindu-Budha maupun sebagai hasil
pengembangannya. Hal tersebut tampak jelas pada ornamen batik yang
berkembang pesat pada masa Islam. Adanya ragam hias motif tumbuhan yang
sudah lama dikenal di Indonesia sangat mudah dipahami, karena lingkungan
alam Indonesia yang kaya dengan tumbuhan selalu menjadi sumber daya
cipta para seniman untuk berkarya. Sesuai dengan kosmologi bangsa
Indonesia, maka jenis tumbuhan yang hadir sebagai hiasan memiliki arti
perlambangan. Pada masa Hindu-Budha arti perlambangan ini disesuaikan
dengan ikonografi dalam kesenian Hindu dan Budha. Pada masa Islam
nilai-nilai perlambangan tersebut tetap dipelihara dan dikembangkan
terus dalam menentukan desain ornamental melalui pandangan yang baru.
Pahatan Makam
Batu
nisan gaya Gujarat ditemukan di Samudera Pasai (Aceh Utara) dan Gresik.
Pahatan yang digunakan berbeda dengan pahatan yang biasa ditemukan di
nusantara sebelumnya. Sama seperti pola hias yang kembali banyak
menggunakan bentuk-bentuk alam. Terkadang kaligrafi Islam juga
digunakan.
Arsitektur gaya Islam Indonesia
Arsitektur
masjid Indonesia berbeda dengan yang ditemukan di negara Islam lainnya.
Masjid lama dibangun dengan mengikuti prinsip dasar bangunan kayu, dan
disertai dengan pembangunan pendapa di bagian depan. Akulturasi budaya
nusantara dan islam tampak jelas disini.
Selain itu juga biasanya
masjid di Indonesia memiliki atap tumpang yang memberikan ventilasi, dan
disangga oleh deretan tiang kayu. Masjid-masjid tersebut terdapat di
Cirebon, Banten, Demak, dan Kudus. Bagian dalamnya dihiasi berbagai pola
hias bentuk-bentuk alam seperti bunga, dedaunan, pola geometris dan
kaligrafi.
Kaligrafi
Kaligrafi
nusantara sangat dipengaruhi oleh Islam, khususnya kaligrafi Arab.
Berbagai benda yang biasa digunakan untuk upacara adat di Indonesia di
masa ini juga sering dihiasi oleh kaligrafi. Berbagai senjata seperti
belati, tombak, dan pedang juga sering dihiasi kaligrafi. Istana juga
kini dihiasi oleh kaligrafi. Wayang juga sering dihiasi oleh kaligrafi
untuk menyamarkan bentuk manusianya. Arab gundul juga sempat menjadi
aksara yang cukup dominan digunakan sebagai tulisan sehari-hari
masyarakat nusantara.
Batik Islam
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, batik sebetulnya telah ditemukan dari
masa prasejarah. Namun pada Seni Rupa Madya inilah perkembangannya
mulai melaju pesat. Karena berkembang pada masa ini pula, batik juga
ikut dipengaruhi oleh budaya islam. Ragam hias ilmu ukur yang sering
dijumpai pada atik seperti tumpal, banji, meander, swastika dan motif
pilin mulai ditinggalkan. Digantikan oleh motif flora seperti bunga,
bentuk buah, dan dedaunan.
Sumber : (http://www.serupa.id/)
Referensi :
- Soedarso SP. (1990/1991). Seni Rupa Indonesia dalam Masa Prasejarah
- Soekmono. (1993). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, 2, 3 Yogyakarta: Kanisius.
- Munandar, A.A. & Yulianto, K. (1995). Research Report: Arsitektur Gua sebagai Sarana Peribadatan dalam Masa Hindu-Buddha. Depok: Universitas Indonesia.
- Yudoseputro. (1986). Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia. Bandung : Angkasa
- Djumena, Nian S. 1990. Batik Dan Mitra (Batik And Its Kind). Jakarta: Djambatan
0 Comments:
Posting Komentar